Selasa, 17 Mei 2011

Peranan Pengetahuan Prasyarat Dalam Pengembangan Strategi Mengajar Dengan Pendekatan Kontruktivistik

Oleh
AGUS TRI SULAKSONO
Mahasiswa Pascasarjana Universitas PGRI Adi Buana Surabaya
Prodi Teknologi Pembelajaran


ABSTRAK


Sering kali guru kurang memperhatikan kemampuan awal siswa. Pengetahuan tentang kemampuan awal siswa diperlukan oleh guru untuk menetapkan strategi mengajar, bahkan untuk mengajukan pertanyaanpun diperlukan pemahaman tentang kemampuan awal siswa. Dengan memahami kemampuan awal siswa ini guru dapat membantu siswa memperlancar proses belajarnya sehingga dapat memperkecil peluang kesulitan yang dihadapi siswa. Adakalanya satu materi tertentu memerlukan prasarat pengetahuan sebelumnya. Jika pengetahuan prasyarat ini belum dikuasi dan guru sudah melanjutkan pada materi berikutnya bisa dipastikan bahwa siswa akan kesultan mengikuti pelajaran.

 Kemampuan koneksi matematik adalah kemampuan seseorang dalam memperlihatkan hubungan internal dan eksternal matematika, yang meliputi: koneksi antar topik matematika, koneksi dengan disiplin ilmu lain, dan koneksi dengan kehidupan sehari-hari. Kemampuan ini dapat ditingkatkan dengan menggunakan berbagai pendekatan pembelajaran, salah satunya adalah dengan pendekatan konstruktivisme.
Pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran matematika merupakan pendekatan pembelajaran dimana pengetahuan baru tidak diberikan dalam bentuk jadi (final), tetapi siswa membentuk sendiri pengetahuannya melalui interaksi dengan lingkungannya dalam proses asimilasi dan akomodasi.


Kata Kunci : Pengetahuan Prasyarat, Strategi Mengajar, Pendekatan  
                     Kontruktivistik











A.    Rasional.
Konsepsi tentang belajar saat ini mengalami perubahan, sejalan dengan perubahan pandangan tentang hahekat ilmu pengetahuan yang dimotori oleh filsafat konstruktivisme. Resnick (1981) menerangkan bahwa seseorang yang belajar itu pada dasarnya adalah membentuk pengertian. Interpretasi siswa terhadap lingkungan merupakan aktifitas yang penting untuk membentuk pengetahuan baru dalam diri kognisi siswa. Orang yang belajar tidak sekedar meniru atau mencerminkan yang diajarkan atau yang dibaca, melainkan secara aktif membentuk pengertian.
Bertolak dari pandangan konstruktivisme, Pertama, belajar sebagai proses konstruksi, yaitu aktifitas siswa untuk membangun pengetahuan, representasi internal terhadap pengalaman. Kedua, belajar merupakan suatu proses aktif mengembangkan makna berdasarkan pengalaman. Ketiga, belajar merupakan interpertasi terhadap lingkungan melalui perbedaan struktur atau skema sehingga terjadi pemaknaan baru.
Bertolak dari hahekat belajar tersebut di atas, belajar pada dasarnya mengandung dua kegiatan :(a) confrontation with new information or experience, dan (b) the leaner's personal discovery of the meaning of that experience. Berdasar dua hal tersebut, terjadinya belajar mempersyaratkan individu-siswa berhadapan dengan pengalaman dan dari interaksinya dengan pengalaman belajarnya tersebut, sebagai hasilnya individu siswa menemukan makna. Sehingga sedikitnya ada dua hal penting yang perlu diaktualisasikan dalam mewujudkan proses pembelajaran, (1) tersedianya seperangkat pengalaman belajar ( informasi baru ataupun pengalaman langsung) yang mencakup substansi dan aktivitas ( prosedur dan alat bantu), yang mampu menjadi pemicu terjadinya proses belajar pada anak, (2) penstrukturisasian pembelajaran secara didaktis yang mampu memfasilitasi bagi kemudahan anak dalam pembentukan makna (pengertian).
Guru sebagai ujung tombak dalam pencapaian tujuan pendidikan, perlu memilih strategi pembelajaran yang efektif dan efisien. Pengelolaan proses pembelajaran yang efektif merupakan titik awal keberhasilan pembelajaran yang bermuara akan meningkatkan prestasi belajar siswa. Terkait dengan proses pembelajaran, guru memiliki peran sentral berhasil tidaknya suatu proses pembelajaran, sebab guru dalam posisi ini bertindak sebagai perancang atau desainer sekaligus pengelola proses pembelajaran sedemikian hingga hasil dari proses pembelajaran tersebut tercapai. Namun demikian, peran guru dalam mendesain dan mengelola proses belajar mengajar di kelas seringkali dihadapkan pada kondisi-kondisi dimana rancangan pembelajaran yang didesainnya tidak berjalan dengan lancar sesuai harapan.
Tidak berkembangnya salah satu faktor dalam proses pembelajaran atau kegiatan belajar mengajar yaitu guru, murid, materi dan metode pembelajaran sudah barang tentu berpengaruh pada proses pembelajaran yang dilaksanakan di dalam kelas. Bahkan kondisi tersebut akan berpengaruh pula pada hasil pembelajaran terutama tampak pada hasil belajar siswa.
Berdasarkan hasil dialog penulis dengan teman seprofesi, diperoleh informasi bahwa sering kali bapak ibu guru kurang memperhatikan kemampuan awal siswa. Pengetahuan tentang kemampuan awal siswa diperlukan oleh guru untuk menetapkan strategi mengajar, bahkan untuk mengajukan pertanyaanpun diperlukan pemahaman tentang kemampuan awal siswa. Dengan memahami kemampuan awal siswa ini guru dapat membantu siswa memperlancar proses belajarnya sehingga dapat memperkecil peluang kesulitan yang dihadapi siswa. Adakalanya satu materi tertentu memerlukan prasarat pengetahuan sebelumnya. Jika pengetahuan prasyarat ini belum dikuasi dan guru sudah melanjutkan pada materi berikutnya bisa dipastikan bahwa siswa akan kesultan mengikuti pelajaran. Hal ini bisa dideteksi melalui perilaku siswa. Siswa yang tidak dapat mengikuti materi yang sedang dibahas oleh guru, cenderung berperilaku “menyimpang” seperti: melamun, menulis atau menggambar yang tidak ada hubungannya dengan materi pelajaran, berbicara sendiri atau kegiatan-kegiatan lain yang tidak terkait dengan isi pembelajaran. Hal ini tentunya sangat berpengaruh pada hasil belajar siswa.


B.     Identifikasi Masalah.
Berdasarkan rasional di atas, teridentifikasi beberapa permasalahan yang sering timbul dalam kegiatan pembelajaran khususnya dalam peberapan strategi mengajar, adalah guru kurang memperhatikan kemampuan awal siswa.

C.     Kajian Pustaka.
1.      Hirarki Belajar.
Gagne (1994) dalam Izatunnajwa. (2009) memberikan alasan cara mengurutkan materi pembelajaran dengan selalu menanyakan pertanyaan seperti ini: "Pengetahuan apa yang lebih dahulu harus dikuasai siswa agar ia berhasil mempelajari suatu pengetahuan tertentu?" Setelah mendapat jawabannya, ia harus bertanya lagi seperti pertanyaan di atas tadi untuk mendapatkan pengetahuan prasyarat yang harus dikuasai dan dipelajari siswa sebelum ia mempelajari pengetahuan tersebut. Begitu seterusnya sampai didapat urut-urutan pengetahuan dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks. Karena itu, hirarki belajar harus disusun dari atas ke bawah. Dimulai dengan menempatkan kemampuan, pengetahuan, ataupun ketrampilan yang menjadi salah satu tujuan dalam proses pembelajaran di puncak dari hirarki belajar tersebut, diikuti kemampuan, keterampilan, atau pengetahuan prasyarat (prerequisite) yang harus mereka kuasai lebih dahulu agar mereka berhasil mempelajari ketrampilan atau pengetahuan di atasnya itu.
Sebagai contoh hirarki belajar yang berkait dengan pemfaktoran adalah sebagai berikut. Tidak mungkin seorang siswa SMP dan SMA dapat memfaktorkan jika ia tidak menguasai penjumlahan dua bilangan bulat. Implikasi selanjutnya, jika menemui siswa yang mengalami kesulitan atau melakukan kesalahan, cobalah untuk berpikir dengan menggunakan teori tentang hirarki belajar ini sebagai salah satu acuannya. Sekali lagi seorang siswa tidak akan dapat mempelajari atau menyelesaikan tugas tertentu jika mereka tidak memiliki pengetahuan prasyaratnya. Karena itu, untuk memudahkan para siswa selama proses pembelajaran di kelas, proses tersebut harus dimulai dengan memberi kemudahan bagi para siswa dengan mengecek, mengingatkan kembali, dan memperbaiki pengetahuan-pengetahuan prasyaratnya.
2.      Teori-Teori Belajar
a.      Teori Belajar Kognitif menurut Piaget
Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu : (1) sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan (4) formal operational. Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi dan akomodasi. James Atherton (2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the process by which a person takes material into their mind from the environment, which may mean changing the evidence of their senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the difference made to one’s mind or concepts by the process of assimilation”
Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget (Nursyamsi, 2008) dalam pembelajaran adalah :
1).    Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
2).    Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
3).    Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4).    Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5).    Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.
b.      Teori Pemrosesan Informasi
Teori pemrosesan informasi menjelaskan bagaimana seseorang memperoleh sejumlah informasi dan dapat diingat dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu perlu menerapkan suatu strategi belajar tertentu yang dapat memudahkan semua informasi diproses di dalam otak melalui beberapa indera. Komponen pertama dari sistem memori yang dijumpai oleh informasi yang masuk adalah registrasi penginderaan. Registrasi penginderaan menerima sejumlah besar informasi dari indera dan menyimpannya dalam waktu yang sangat singkat, tidak lebih dari dua detik. Bila tidak terjadi suatu proses terhadap informasi yang disimpan dalam register penginderaan, maka dengan cepat informasi itu akan hilang. Keberadaan register penginderaan mempunyai dua implikasi penting dalam pendidikan. Pertama, orang harus menaruh perhatian pada suatu informasi bila informasi itu harus diingat. Kedua, seseorang memerlukan waktu untuk membawa semua informasi yang dilihat dalam waktu singkat masuk ke dalam kesadaran.
Interpretasi seseorang terhadap rangsangan dikatakan sebagai persepsi. Persepsi dari stimulus tidak langsung seperti penerimaan stimulus, karena persepsi dipengaruhi status mental, pengalaman masa lalu, pengetahuan, motivasi, dan banyak faktor lain. Informasi yang dipersepsi seseorang dan mendapat perhatian, akan ditransfer ke komponen kedua dari sistem memori, yaitu memori jangka pendek. Memori jangka pendek adalah sistem penyimpanan informasi dalam jumlah terbatas hanya dalam beberapa detik. Satu cara untuk menyimpan informasi dalam memori jangka pendek adalah memikirkan tentang informasi itu atau mengungkapkannya berkali-kali. Guru mengalokasikan waktu untuk pengulangan selama mengajar.
Sehubungan dengan teori pemrosesan informasi di atas Gagne  (1994) dalam Sudrajad (2008) berasumsi bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Selanjutnya Gagne mengemukakan bahwa tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6) generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan balik.

3.      Teori Belajar Konstruktivisme

Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988 dalam Hamzah, 2008).

Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988 dalam Hamzah, 2008). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1997).
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999 dalam Hamzah, 2008).
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.
Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995 dalam Hamzah, 2008) mengajukan karakteristik sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998 dalam Hamzah, 2008).
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988) dalam Hamzah, (2008) mengemukakan; (1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999) dalam Hamzah, (2008). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998) dalam Hamzah, (2008) mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999) dalam Hamzah, (2008) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.

  1. Hakikat Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992) dalam Hamzah, (2008) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley (1991) dalam Hamzah, (2008) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990) dalam Hamzah, (2008) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996) dalam Hamzah, (2008) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996) dalam Hamzah, (2008) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
Berdasarkan hasil analisisnya terhadap sejumlah kriteria dan pendapat sejumlah ahli, Widodo, (2004) dalam Hamzah, (2008) menyimpulkan tentang lima unsur penting dalam lingkungan pembelajaran yang konstruktivis, yaitu:
a.       Memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa
Kegiatan pembelajaran ditujukan untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan. Siswa didorong untuk mengkonstruksi pengetahuan baru dengan memanfaatkan pengetahuan awal yang telah dimilikinya. Oleh karena itu pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan awal siswa dan memanfaatkan teknik-teknik untuk mendorong agar terjadi perubahan konsepsi pada diri siswa.
b.      Pengalaman belajar yang autentik dan bermakna.
Segala kegiatan yang dilakukan di dalam pembelajaran dirancang sedemikian rupa sehingga bermakna bagi siswa. Oleh karena itu minat, sikap, dan kebutuhan belajar siswa benar-benar dijadikan bahan pertimbangan dalam merancang dan melakukan pembelajaran. Hal ini dapat terlihat dari usaha-usaha untuk mengaitkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, penggunaan sumber daya dari kehidupan seharihari, dan juga penerapan konsep.
c.       Adanya lingkungan sosial yang kondusif.
Siswa diberi kesempatan untuk bisa berinteraksi secara produktif dengan sesama siswa maupun dengan guru. Selain itu juga ada kesempatan bagi siswa untuk bekerja dalam berbagai konteks sosial.
d.      Adanya dorongan agar siswa bisa mandiri.
Siswa didorong untuk bisa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya. Oleh karena itu siswa dilatih dan diberi kesempatan untuk melakukan refleksi dan mengatur kegiatan belajarnya.
e.       Adanya usaha untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah.
Sains bukan hanya produk (fakta, konsep, prinsip, teori), namun juga mencakup proses dan sikap. Oleh karena itu pembelajaran sains juga harus bisa melatih dan memperkenalkan siswa tentang “kehidupan” ilmuwan.

D.    Kesimpulan.
Jean Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme, sedangkan teori pengetahuannya dikenal dengan teori adaptasi kognitif. Sama halnya dengan setiap organisme harus beradaptasi secara fisik dengan lingkungan untuk dapat bertahan hidup, demikian juga struktur pemikiran manusia. Manusia berhadapan dengan tantangan, pengalaman, gejala baru, dan persoalan yang harus ditanggapinya secaca kognitif (mental). Untuk itu, manusia harus mengembangkan skema pikiran lebih umum atau rinci, atau perlu perubahan, menjawab dan menginterpretasikan pengalaman-pengalaman tersebut. Dengan cara itu, pengetahuan seseorang terbentuk dan selalu berkembang. Proses tersebut meliputi:
a.       Skema/skemata adalah struktur kognitif yang dengannya seseorang beradaptasi dan terus mengalami perkembangan mental dalam interaksinya dengan lingkungan. Skema juga berfungsi sebagai kategori-kategori utnuk mengidentifikasikan rangsangan yang datang, dan terus berkembang.
b.      Asimilasi adalah proses kognitif perubahan skema yang tetap mempertahankan konsep awalnya, hanya menambah atau merinci.
c.       Akomodasi adalah proses pembentukan skema atau karena konsep awal sudah tidak cocok lagi.
d.      Equilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamya (skemata). Proses perkembangan intelek seseorang berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium melalui asimilasi dan akomodasi.
Menurut Ausubel, ada dua macam proses belajar yakni belajar bermakna dan belajar menghafal. Belajar bermakna berarti informasi baru diasimilasikan dalam struktur pengertian lamanya. Belajar menghafal hanya perlu bila pembelajar mendapatkan fenomena atau informasi yang sama sekali baru dan belum ada hubungannya dalam struktur pengertian lamanya. Dengan cara demikian, pengetahuan pembelajar selalu diperbarui dan dikonstruksikan terus-menerus. Jelaslah bahwa teori belajar bermakna Ausubel bersifat konstruktif karena menekankan proses asimilasi dan asosiasi fenomena, pengalaman, dan fakta baru ke dalam konsep atau pengertian yang sudah dimiliki siswa sebelumnya.
Berlandaskan teori Piaget dan dipengaruhi filsafat sainsnya Toulmin yang mengatakan bahwa bagian terpenting dari pemahaman manusia adalah perkembangan konsep secara evolutif, dengan terus manusia berani mengubah ide-idenya, Posner dkk lantas mengembangkan teori belajar yang dikenal dengan teori perubahan konsep. Tahap pertama dalam perubahan konsep disebut asimilasi, yakni siswa menggunakan konsep yang sudah dimilikinya untuk menghadapi fenomena baru. Namun demikian, suatu ketika siswa dihadapkan fenomena baru yang tak bisa dipecahkan dengan pengetahuan lamanya, maka ia harus membuat perubahan konsep secara radikal, inilah yang disebut tahap akomodasi.
Tugas pendidikan adalah bagaimana dua tahap tersebut bisa terus berlangsung dengan terus memberi tantangan sehingga ada ketidakpuasan terhadap konsep yang telah ada. Praktik pendidikan yang bersifat hafalan seperti yang selama ini berlangsung jelas sudah tidak memadai lagi, bahkan bertentangan dengan hakikat pengetahuan dan proses belajar itu sendiri. 
Seorang siswa tidak akan dapat mempelajari atau menyelesaikan tugas tertentu jika mereka tidak memiliki pengetahuan prasyaratnya. Karena itu, untuk memudahkan para siswa selama proses pembelajaran di kelas, proses tersebut harus dimulai dengan memberi kemudahan bagi para siswa dengan mengecek, mengingatkan kembali, dan memperbaiki pengetahuan-pengetahuan prasyaratnya.
















Daftar Pustaka


Hamzah, M.Ed. 2008. Teori Belajar Konstruktivisme diakses melalui http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/02/teori-teori-belajar/

Izatunnajwa. 2009. Hirarki Belajar. Diakses melalui

Nursyamsi, Aji. 2008. Teori Belajar. Diakses melalui http:/neozonk.blogspot

Resnick, L.B. & Ford, W.W. (1981). The Psychology of Mathematics for Instructions. New Jersey: LEA.

Sudrajad. Akhmad. 2008. Teori Belajar konstruktivisme. diakses melalui http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/02/teori-teori-belajar/

1 komentar:

  1. MGM: Resorts Casino in Las Vegas will close at midnight
    The MGM 수원 출장마사지 National Harbor casino 충청남도 출장안마 in 천안 출장마사지 Las Vegas is closing at midnight, the company 제천 출장안마 announced on its blog. 김해 출장마사지 MGM Resorts International

    BalasHapus