Selasa, 17 Mei 2011

Problematika Kualitas Sumber Daya Guru Dalam Penerapan KTSP Di Sekolah

Agus Tri Sulaksono
Mahasiswa Pascasarjana Universitas PGRI Adi Buana Surabaya
Prodi Teknologi Pembelajaran

A.    RASIONAL.
Pada tahun pelajaran 2007-2008, pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional telah mengeluarkan kebijakan strategis, yaitu  dimulainya penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Keberadaan KTSP apabila dicermati mengharapkan adanya perubahan paradigma pembelajaran di semua satuan pendidikan dari: paradigma normal child and exceptional child menjadi regular child and special educational needs; dari paradigma teacher center menuju child centered; dari paradigma subject mathod curriculum menuju competence base curriculum; dan dari paradigma exclusive segregative educational menuju inclusive educational proses.
Paradigma pembelajaran yang diusung dalam KTSP sejatinya adalah pembelajaran yang berorientasi pada perpaduan teori atau prinsip pembelajaran konstruktivisme dan penerapan prinsip resource-based learning (memberdayakan semua sumber-sumber belajar). 


Prinsip pendekatan konstruktivis, model pembelajaran di kelas harus didesain dengan pola: (a) siswa diharapkan tidak hanya menerima pengetahuan, tetapi didorong untuk mampu menyerap beragam ilmu pengetahuan yang ada di sekelilingnya, untuk kemudian mampu membangun dan mengembangkan sendiri tentang pengetahuan yang mereka dapatkan; (b) proses pembelajaran di kelas harus mendorong siswa secara mandiri untuk mentransformasi pengetahuan dan ketrampilan baru sesuai dengan kemampuan dirinya; (c) proses pembelajaran di kelas harus menggunakan beberapa strategi dan inovasi pembelajaran tentang bagaimana caranya agar siswa yang mempunyai keberagaman intelektual, sosial-kultural tersebut mampu membangun pengetahuan baru dengan bantuan pengalaman, pengetahuan dan keyakinan yang dimilikinya; (d) proses pembelajaran di kelas harus di desain dengan pola pembelajaran yang merangsang anak untuk senang kepada tantangan baru, gemar melakukan analisis dan penemuan baru, siswa harus dipandang sebagai ilmuwan kecil dengan segala kelebihan dan keterbatasan masing-masing; dan (e) proses pembelajaran berdasarkan KTSP pada hakikatnya adalah, adanya pengakuan akan eksistensi siswa di kelas sebagai insan yang serba beragam dalam segala kemajemukan: pengetahuan, ketrampilan, emosi, keyakinan, cita-cita, yang akan dikomandani oleh guru yang bertindak sebagai pembimbing dan motivator bagi anak untuk berkembang sesuai dengan kemampuan dirinya. Untuk bisa menerapkan prinsip pembelajaran tersebut setiap guru harus mampu menerapkan prinsip pemberdayaan semua sumber-sumber belajar dalam proses pembelajaran.
Ada tujuh prinsip dalam pelaksanaan KTSP di setiap satuan pendidikan, yaitu: (a) didasarkan pada potensi, perkembangan dan kondisi siswa untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi dirinya; (b) menegakkan kelima pilar belajar, yaitu belajar untuk: beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Y.M.E; memahami dan menghayati; mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif; hidup bersama dan berguna bagi orang lain; dan membangun, menentukan jati diri; (c) memungkinkan siswa mendapat pelayanan yang bersifat perbaikan, pengayaan, dan percepatan sesuai dengan potensi, tahap perkembangan dan kondisi peserta didik dengan tetap memperhatikan keterpaduan pengembangan pribadi peserta didik yang berdimensi ke Tuhanan, keindividuan, kesusilaan dan moral; (d) tercipta suasana hubungan siswa dan pendidik yang saling menerima, menghargai, akrab, terbuka, hangat dengan prinsip tut wuri handayani, ing madya mangun karsa, ing ngarso sung tulodo; (e) menggunakan pendekatan multi-strategi dan multimedia, sumber belajar dan teknologi yang memadai, dan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar; (f) mendayagunakan kondisi alam, sosial dan budaya serta kekayaan daerah untuk keberhasilan pendidikan dengan muatan seluruh bahan kajian secara optimal; dan (g) mencakup seluruh komponen kompetensi mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri diselenggarakan dalam keseimbangan, keterkaitan, kesinambungan yang cocok dan memadai antar kelas dan jenis serta jenjang pendidikan (BSNP, 2006).
Mengkaji tentang keberhasilan pelaksanaan KTSP sejatinya menuntut pemahaman dari sudut pandang secara multidimensional, karena faktor pendukung keberhasilan pelaksanaan KTSP ditentukan oleh beragam faktor, antara lain kondisi: (a) kualitas guru baik secara akademik, kepribadian maupun profesional; (b) kualitas peserta didik baik secara fisik maupun non fisik; (c) kualitas managemen kepemimpinan disetiap satuan pendidikan; (d) kualitas dana atau sarana-prasarana sekolah; dan (e) dukungan dari realitas sosial-budaya yang berkembang dalam komunitas keluarga atau masyarakat. Kelima faktor tersebut membentuk suatu rangkaian sistemik dalam mewujudkan keberhasilan KTSP. Sehingga dalam posisi demikian, fokus analisisnya lebih menekankan pada aspek kualitas sumber daya guru (SDM), sedangkan aspek lainnya sebagai pelengkap.
Dalam pelaksanaaan KTSP terdapat beberapa kendala (problem) tentang kualitas guru, diantaranya adalah:
1.      Ditinjau dari jenjang pendidikan formal atau kelayakan akademik guru di Indonesia masih dalam kategori rendah. Berdasarkan data Depdiknas (2006) dalam Kunandar (2007), mengungkapkan bahwa dari 2, 6 juta guru di Indonesia masih terdapat 912.505 guru yang tidak layak mengajar di kelas dan 15 % diantaranya mengajar tidak sesuai dengan keahliannya.
2.      Masih banyak guru yang terpaku pada mindset pembelajaran teacher centered (Adi, 2007) dengan one texbook information. Apabila fenomena ini tetap bertahan mewarnai poses pembelajaran di kelas tentu sangat mengkhawatirkan bagi kelangsungan pembelajaran berdasarkan KTSP.
3.      Masih banyak guru yang tidak memahami beragam inovasi pembelajaran dan bagaimana penerapannya di kelas. Hal ini tentu sangat kontradiktif dengan semangat inovasi pembelajaran yang tersirat dalam KTSP.
4.      Lembaga satuan pendidikan sebagai wadah aktualisasi guru dalam meniti karir profesi, pada tatanan aplikatif sehari-hari masih ada kecenderungan hubungan disharmonis antar guru karena beragam kepentingan dan sudut pandang. Apabila hal ini tidak segera terselesaikan, sedikit banyak akan mengganggu keharmonisan dalam layanan pendidikan sesuai dengan KTSP. Dalam konteks organisasi satuan pendidikan, seharunya setiap guru senantiasa belajar untuk memajukan satuan pendidikannya melalui proses: (a) system thinking; (b) mental models; (c) personal mastery; (d) team learning; (e) shared vision; dan (f) dialog .
5.      Kondisi tingkat kesejahteraan finansial guru yang masih relatif rendah. Rendahnya tingkat kesejahteraan guru termasuk salah satu faktor penyebab rendahnya kualitas layanan guru dalam poses pembelajaran di kelas (Tilaar, 2002). Masih banyak dijumpai pendapatan guru dalam satu bulan di bawah dua ratus ribu rupiah dengan segudang tangggungjawab, jauh dibawah UMR, terutama para GTT baik dari jenjang SD sampai SMA.

B.     PERUMUSAN MASALAH.
Berdasarkan rasioanal yang telah diuraikan diatas, dirumuskan suatu permasalahan, yakni: bagaimana meningkatkan kualitas sumber daya guru dalam pelaksanaan KTSP di sekolah?.

C.     PEMECAHAN MASALAH.
Dari permasalahan di atas diberikan beberapa alternatif pemecahannya sebagai berikut:
1.      Pemerintah harus sungguh-sungguh dalam memberikan beragam kemudahan bagi guru untuk mengakses peningkatan kelayakan akademiknya (melalui pemberian beasiswa melanjutkan studi, diklat, penataran, workshop dan sejenisnya). Disamping itu setiap guru yang hendak meningkatkan kualitas formal akademiknya harus betul-betul disesuaikan dengan bidang keahlian mengajar di kelas, tidak hanya sekedar meraih gelar sarjana;
2.      Mengubah mindset guru dalam pelaksanaan pembelajaran dalam arti hati dan pikiran guru  harus sungguh-sungguh mau berubah untuk terus belajar meningkatkan kualitas keahliannya atau profesinya. Setiap guru harus terus menyalakan sikap mental need for achievement (berprestasi sebagai kebutuhan dasar) sepanjang meniti karir profesi guru. Tanpa ada kemauan internal guru untuk berubah secara kokoh, apapun usaha pemerintah dan lembaga satuan pendidikan dalam memajukan layanan pendidikan akan tetap sia-sia.
3.      Dalam setiap satuan pendidikan harus dibentuk team ahli inovasi pembelajaran yang secara optimal bersama-sama memberdayakan potensi setiap guru untuk meningkatkan penguasaan metode pembelajaran dengan meminimalisir prinsip what should be learned (apa yang harus dipelajari) untuk mengedepankan prinsip how to think (bagaimana berpikir). Oleh karena itu dalam konteks metode pembelajaran, setiap guru harus menegakkan empat pilar dalam belajar, yaitu: learning to know (belajar mengetahui), learning to do (belajar berbuat), learning to gether (belajar hidup bersama), dan learning to be (belajar menjadi seseorang) (Kunandar, 2007). Jadi, dalam konteks ini setiap guru harus cerdas membaca perkembangan jaman atau tanggap terhadap perkembangan Iptek, harus punya ambisi dalam pengembangan ilmu pengetahuan atau keahlian akademiknya (bukan ambisi cari jabatan struktural), selalu berinovasi dalam pembelajaran melalui kegiatan classrom action research (PTK) atau kegiatan kajian pengembangan keilmuan.
4.      Membentuk atau membangun kemauan sikap mental setiap guru untuk belajar dan bekerjasama sesama guru dengan hati yang tulus-ikhlas, membangun kualitas kepribadian. Oleh karena itu kedudukan dan peran kepala sekolah dalam hal ini sangat sentral. Kepala sekolah harus mampu memainkan peran baru (new rules), ketrampilan baru (new skills), dan mampu mengaplikasikan sarana baru dari permasalahan yang timbul (new tools). Kepala sekolah harus: berperan sebagai perancang (designer) kebijakan strategis dalam satuan pendidikan; berfikir integral dalam mencermati fenomena pendidikan; mampu membangkitkan learning organization; mendorong dan memberi peluang pada setiap guru/ anak buah untuk mengembangkan potensi profesinya secara maksimal; terbuka pada kritik dan saran yang konstruktif; transparan dan tanggungjawab dalam pengelolaan aset satuan pendidikan; dan mampu membangun atau mewujudkan regenerasi yang visioner.
5.      Dalam mengatasi permasalahan rendahnya tingkat kesejahteraan guru dapat dilakukan dengan cara antara lain: (a) Pemerintah harus segera merealisasikan anggaran pendidikan minimal 20 % dalam APBN/APBD; (b) Komite Sekolah bersama Kepala Sekolah dan dewan guru harus berusaha meningkatkan Peran Serta Masyarakat (PSM) dalam mendukung proses layanan pendidikan di setiap satuan pendidikan, untuk dikelola secara transparan dan tanggungjawab; dan (c) Pemerintah atau lembaga pendidikan harus menerapkan sistem pemberian “reward” (hadiah), insentif yang sangat memadai bagi guru yang berdedikasi, berprestasi baik secara akademik, kepribadian atau profesi. Peluang untuk mendapatkan reward atau insentif tersebut harus terbuka dan terus disosialisasikan ke setiap guru. Ada kecenderungan pola budaya yang berkembang di masyarakat tentang nilai penghargaan (reward) pada insan yang berprestasi dibidang akademik (Iptek), jauh lebih rendah penghargaan finansialnya apabila dibandingkan dengan prestasi dibidang non akademik. Fenomena ini tentu menjadi salah satu faktor penghambat rendahnya minat anak bangsa dalam meminati dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

D.    KESIMPULAN.
Kunci keberhasilan pelaksanaan KTSP adalah tersedianya kualitas sumber daya guru, baik secara akademik, kepribadian dan profesinya. Ketiadaan kualitas SDM Guru di setiap satuan pendidikan, akan berdampak pada kegagalan pelaksanaan KTSP. Upaya mengatasi problem “rendahnya” kualitas guru harus secara seimbang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak internal dan pihak eksternal. Pihak internal adalah pandangan, motivasi dan tujuan guru itu sendiri, bersedia atau tidak untuk terus berada di garis perubahan dan inovasi pembelajaran. Sedangkan pihak eksternal adalah pihak pemerintah dengan segenap strategi kebijakannya, kepala sekolah dan iklim atau kondisi sosial-budaya masyarakatnya. Sudah barang tentu setiap insan pendidik di negeri tercinta ini mendambakan potret layanan pendidikan anak bangsa ke depan tetap dalam bingkai penuh kesuksesan dan kemajuan.

 DAFTAR RUJUKAN.

Adi, T. 2007. “Selamat Datang KTSP”, Jurnal Media. N0. 3/ Th. XXXVII/ Mei 2007. Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur.
BSNP, 2006. Standar Isi. Badan Standar Nasional Pendidikan, Jakarta.
Kunandar. 2007. Guru Profesional, Implementasi KTSP dan Persiapan Sertifikasi Guru. Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada.
Tilaar, 2002. Membenahi Pendidikan Nasional. Rineka Cipta. Jakarta.
Undang Undang No. 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISPENAS).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar